ADA YANG DEKET ISTIMEWA Niiiiiiiih !!!!

08.54 Unknown 6 Comments




- PANTAI KODANG MERAK MALANG-

Yuhuuu kali ini Moza bakal kasih kalian referensi yang mungkin belom kalian tau sebelumnya kalau ada pantai yang belum terjajah oleh para wisatawan dan tidak kalah indahnyaa.

Pantai Kondang Merak adalah sebuah pantai di pesisir selatan yang terletak di tepi Samudera Indonesia secara administratif berada di Desa Sumberbening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur[1]. Pantai Kondang Merak sudah cukup dikenal bagi wisatawan Malang Raya. Bahkan pantai ini sudah menjadi jujugan wisatawan lokal maupun asing untuk bermain snorkeling (sejenis menyelam). Keunggulan sebagai tempat snorkeling inilah yang menjadi salah satu daya tarik yang ditawarkan pantai tersebut.
Untuk menjangkau Pantai Kondang Merak, Anda bisa mengikuti jalan menuju Pantai Balekambang. Setelah keluar dari perkebunan tebu ada sebuah perempatan, lalu ambil arah ke kanan. Jika lurus akan menuju Balekambang sedangkan bila berbelok ke kiri akan menuju Pantai Bajulmati. Dari perempatan itu masih sekitar 4 km lagi menuju Pantai Kondang Merak. Terdapat sebuah papan kecil petunjuk arah bertuliskan Kondang Merak hampir tak terlihat orang yang melewatinya. Setelah itu jalanan makin sulit karena hanya berupa jalan tanah dan makadam. Bila pada musim penghujan banyak kubangan lumpur di sepanjang jalan menuju Pantai Kondang Merak. Jalannya relatif sempit dengan diapit hamparan pepohonan besar dan semak yang lebat. Jika kondisi jalan normal, mungkin dari perempatan menuju Pantai Kondang Merak bisa ditempuh hanya 10 menit. Namun karena kondisi jalan yang rusak minimal waktu yang ditempuh sekitar 30 menit. Di dekat pantai terdapat sebuah pos penarikan tiket, tetapi biasanya kosong tak ada petugasnya. Biasanya harga tiket masuk Pantai Kondang Merak sebesar Rp 3.000 per orang dan parkir kendaraan Rp 5.000.
Pantai ini dinamakan Kondang Merak karena pantai ini memiliki kondang (muara yang merupakan pertemuan air tawar dan laut) yang dahulu banyak dihuni burung merak. Baru pada tahun 1980-an, burung merak mulai punah akibat penangkapan liar. Panorama Kondang Merak memang cukup menggoda, garis pantainya lumayan panjang, kurang lebih 800 meter. Pasirnya putih bersih dan pepohonan di pinggir pantai membuat nyaman suasana di situ. Pantainya agak berlumut dan memiliki banyak terumbu karang, spons, dan kerang di sekitar pantainya. Di tepi pantai Anda bisa menemukan berbagai binatang laut seperti gurita kecil, landak laut, mentimun laut, ikan-ikan kecil atau lobster yang bersembunyi di sela-sela karang.
Gelombang di Pantai Kondang Merak juga tidak terlalu besar karena terpecah dengan keberadaan batu karang menjulang yang berjajar di radius sekitar 200 meter dari bibir pantai. Ada sekitar lima titik batu karang yang menjadi pemecah ombak. Karang yang menghiasi sekeliling Pantai Kondang Merak menambah keindahan pantai ini. Karena gelombangnya yang sudah terpecah itulah, Pantai Kondang Merak ini menjadi tempat singgah para nelayan. Pantai ini menjadi terminal perahu nelayan bermesin tunggal. Di pinggir pantai, transaksi jual beli ikan hasil tangkapan nelayan pun berlangsung. Beragam jenis ikan yang menjadi tangkapan nelayan antara lain tuna, kakap dan gurita. Para nelayan pun juga mendirikan perkampungan nelayan yang membuat selalu hidup siang atau malam. Pantai ini nyaris tak pernah sepi.
Di Pantai Kondang Merak ini Anda bisa merasakan beragam kuliner unik yang nyaris tidak ada di tempat lain. Di sekitar pantai banyak warung makan yang menyediakan ikan segar. Salah satunya yang menjadi andalan adalah sate tuna. Selain sajian sate tuna, di sepanjang bibir pantai juga tersedia beragam menu dengan bahan dasar ikan laut di antaranya gurita asem manis, kuah pedas kepala ikan laut, gurita saos tiram, dan fish kebab. Sebelum pulang sempatkan untuk membeli ikan tuna sirip kuning hasil tangkapan nelayan sebagai oleh-oleh.

6 komentar:

09.26 Unknown 12 Comments

  Pulau Diyonumo. Sumalata Timur, Gorontalo Utara.
a.    Fase terbentuknya wilayah Sumalata
Sumalata pada awalnya hanyalah nama dari sebuah tempat di wilayah utara Pohala’a Limutu (Limboto). Nama Sumalata sendiri sebelumnya adalah Tumolata. Tapi dikarenakan lidah orang Belanda yang sulit mengeja kata “Tumolata”, dan menyebutnya dengan “Sumalata”, sehingga dalam penulisnya menjadi “SOEMALATA”.  
Sedang untuk kata “Tumolata”, sejauh ini didapati dari beberapa sumber berasal dari:
1.    Tumo-tumolata yang diambil dari kalimat ‘huta u tumo-tumolata mola’ yang berarti tanah yang dipenuhi oleh rawa-rawa, dan
2.    Tilumolata yang diambil dari kalimat ‘hulawa maa tilumolata’ yang berarti emas yang sudah timbul atau muncul kepermukaan setelah melalui proses pendulangan.
Tidak diketahui secara pasti kapan awal dimulainya peradaban di wilayah Tumolata (Sumalata). Sebuah sumber mengatakan bahwa dalam proses terjadinya Janjia U Dulowo (perdamaian antara Pohala’a Hulontalo dan Pohala’a Limutu) pada tahun 1673 yang di pelopori oleh Hohuhu (Jogugu) Bumulo dan Khatibi Da’a Eyato dari Hulontalo serta Hohuhu Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo dari Limutu, di sebutkan bahwa ketika Putri Ntobango dan Putri Tili’aya kembali ke Limutu yang dikawal oleh armada laut Kerajaan Gowa dengan maksud untuk menguasai Hulontalo melalui Limutu, sempat singgah di Sumalata. 
Diceritakan bahwa ketika Armada Laut Kerajaan Gowa yang membawa 2 putri tersebut sampai di Tolinggula, bertemulah mereka dengan para penjemput dari Kerajaan Limutu. Diantaranya para penjemput tersebut ikut pula Hohuhu (Patih atau Perdana Mentri) Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo. Kemudian Rombongan ini singgah di sebuah Pulau di Sumalata yang bernama Lito Hutokalo. Di Pulau Hutokalo ini, Hohuhu Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo berusaha membujuk para Pemimimpin Kerajaan Gowa agar tidak menyerbu Kerajaan Hulontalo (Sumber: Janjia U Duluwo; www.hungguli.hulondhalo.com). 
Sumber lain mengatakan bahwa Rombongan Putri Ntobango dan Tili’aya terpaksa singgah di Lito Hutokalo ketika akan menuju Limutu karena di tengah laut dihadang badai kencang (Barubu), dan akhirnya sangat terpaksa rombongan tersebut harus merubah rute perjalanan mereka dengan memutar langsung menuju pelabuhan Hulontalo.


dari kisah di atas, diperkirakan bahwa pada tahun 1600-an wilayah Tumolata sudah dihuni oleh beberapa keluarga (ngala’a), mengingat wilayah Tumolata pada waktu itu adalah sebuah tempat dari Pohala’a Limutu dengan keadaan geografisnya sangat baik untuk bercocok tanam. Apalagi, diketahui pula bahwa Tumolata menjadi tujuan bagi orang-orang, baik yang berasal dari Hulontalo dan Limutu maupun wilayah kerajaan sekitarnya untuk mencari nafkah sebagai penambang emas. Karena pada waktu itu, Tumolata adalah salah satu wilayah penambangan emas di Pohala'a Limutu. Sehingga, ketika orang-orang dari Sumalata yang datang ke Limutu atau Hulontalo juga sering disebut “taa lontho lemba lo Tumolata” (orang dari kampung Sumalata).

Pada awalnya, Tumalata hanya merupakan lokasi perkebunan milik masyarakat setempat. Suatu saat, ketika mulai melakukan penanaman jagung (milu) di sekitar lokasi Dusun Pasolo Desa Buladu (sekarang sudah dimekarkan menjadi Desa Hulawa-red), mereka menemukan beberapa batu kecil berwarna kuning yang ternyata adalah emas murni tersebar di lokasi kebun mereka, atau yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan sebutan "batu gara". Akhirnya tersebarlah berita di seluruh wilayah Gorontalo tentang penemuan biji-biji emas di Tumolata, yang menyebabkan banyaknya para pendatang dari Limutu dan wilayah untuk sekedar menjadi penambang emas (Sumber : Reistogten in de afdeeling Gorontalo, Gedaan op last der Nederlandsch Indische regering; hal 84-98; Carl Benjamin Hermann Rosenberg (Baron von); F. Muller, 1865).
 Sebuah tulisan tentang Pembentukan Gorontalo yang dikisahkan kembali oleh mantan Kepala Desa Wubudu yakni Akuba Imran (Ti Boungo) yang pernah menjadi Juru Tulis di tahun 1950 dari Kepala Kampung Deme II bernama T. A. Poneta (….. s/d 1958) mengatakan bahwa, Hohuhu Popa sempat membentuk beberapa Tim yang bertugas melakukan survey ke seluruh wilayah Limutu. Untuk mengetahui secara pasti wilayah Sumalata maka Hohuhu Popa menugaskan Tim II yang beranggotakan 5 (lima) personil yang dikenal dengan  Palima, Panggoba, Talenga, Wombuwa dan Pangulu.
Dalam melaksanakan tugas, Tim II pertama-tama menemui wilayah Deme yang selanjutnya meneruskan perjalanan sampai di Tolinggula yang sebelumnya disadur dari kata ‘Ilotunggula’ yang berarti sampai pada tempat yang dituju. Dari seluruh wilayah yang telah disurvey, ternyata hampir keseluruhan digenangi oleh air (rata-rata rawa) sehingga demikian dari 5 (lima) anggota tim sepakat memberikan nama  dari Deme  sampai dengan Tolinggula adalah “Tumolata”, artinya rata-rata digenangi air.
Dikisahkan pula dalam perjalanan tersebut, ketika Tim II memasuki wilayah Tumolata, mereka berjalan kaki menyusuri pinggiran pantai (deme-deme mota), kemudian sampai di sebuah dataran yang memanjang (u bula-bulade mota), kemudian berjalan melingkari wilayah perbukitan (lo libudu) dan menemui sebuah pantai yang dihalangi air pasang (Bubu-bubulo Taluhu Bonggi-liyo), dan seterusnya sampai ke tempat tujuan (ilotunggula). Dari cerita tersebut pula menjadi dasar penamaan beberapa desa di Sumalata (Deme, Buladu, Wubudu, Bulontio dan Tolinggula.
Menurut penyampaian Bapak Akuba Imran, Raja lo Limutu akhirnya mengangkat pemimpin di wilayah Tumolata yang disebut pada masa itu dengan “Wala'o Pulu”. Dan Wala’o Pulu yang pertama adalah Wala’o Pulu Hepu, kemudian diganti oleh Wala’o Pulu Toana dan selanjutnya terakhir Wala’o Pulu Amara, sebelum akhirnya diganti oleh Hulopango Puti yang mempunyai gelar (gara'i)  Ta Lo Kabulu’ sebagai Marsaole pertama di Sumalata pada tahun 1889 ketika sistem pemerintahan di wilayah Gorontalo dirubah oleh Kolonial Belanda, yang dikenal dengan sistem ‘Rechehereeks Bestuur’. Kapan tahun diangkatnya Wala’o Pulu Hepu sebagai kepala wilayah di Tumolata tidak diketahui secara pasti.
Sumalata disaat pemerintahan Wala’o Pulu masih merupakan satu wilayah utuh dari   Deme I sampai Tolinggula. Nanti setelah tahun 1889, ketika Sumalata menjadi sebuah Onder Distirik yang dikepalai oleh seorang Marsaole, barulah wilayah Sumalata dibagi menjadi 8 (delapan) desa ‘kambungu’ yakni Deme I, Deme II, Buladu, Wubudu, Bulontio, Buloila, Biawu dan Tolinggula. Setelah masa penjajahan Jepang masuk di Sumalata, maka Tolinggula dipecah menjadi dua yakni Tolinggula Ulu dan Tolinggula Pantai. Sedang Bulontio di awal tahun 1950-an dimekarkan menjadi dua bagian, Bulontio Barat dan Bulontio Timur.
Adapun Marsaole Hulopango Puti menjabat tidak sampai 1 (satu) tahun, karena wafat ketika melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah dan diberi Gara’i dengan sebutan ‘Ta Lo Kabulu’ (yang dikabulkan doanya), hal ini karena niat dari beliau sendiri untuk wafat ketika menjalankan ibadah haji dan dikuburkan di tanah suci Mekkah. Setelah Hulopango Puti wafat, ditahun itu juga Marsaole Sumalata diganti dengan Bulonggodu Dangkua yang kemudian diberi gelar adat (Pulanga) Ti Tobuto atau Ti Sobuto.
Sumber lain menyebutkan, ketika Carl Benjamin Hermann Rosenberg yang berkunjung ke Sumalata di Tahun 1863, menjelaskan bahwa wilayah Sumalata terdiri dari enam Kampung yaitu : Tolinggoela (12 buah rumah dengan penduduk 96 jiwa), Boelondyo (14 buah rumah dengan penduduk 107 jiwa), Oebohdo (24 buah rumah dengan penduduk 162 jiwa), Boelodo (25 buah rumah dengan penduduk 175 jiwa), De'me (17 buah rumah dengan penduduk 124 jiwa) dan Doeloekappa (9 buah rumah dengan penduduk 36 jiwa). Dalam perjalanannya menuju Sumalata dari Kwandang, rombongannya sempat singgah di Lito Doyanoemo (Pulau Diyonumo) karena dihadang oleh angin kencang. Sore harinya ketika angin berhenti dan air laut mulai surut, merapatlah perahu yang ditumpangi oleh C. B. H. Rosenberg di pantai dan disambut oleh Walapoeloe dan langsung diantar menuju desa Boelodo (Sumber : Reistogten in de afdeeling Gorontalo, Gedaan op last der Nederlandsch Indische regering; hal 84-98; Carl Benjamin Hermann Rosenberg (Baron von); F. Muller, 1865).

12 komentar:

09.10 Unknown 15 Comments


AIR TERJUN SEDUDO NGANJUK JAWA TIMUR 

Nah good people para pecinta travelling Indonesia nih Moza kali ini bakal kasih referensi buat kalian main-main sebentar dengan pemandangan yang indah,sejuk namun tidak membutuhkan waktu yang lama dalam perjalan karena amsih di area Jawa Timur ajah nih....simak yaaaaaahh.....


Air Terjun Sedudo berada di ketinggianan 1.438 meter di atas permukaan laut (dpl) di sisi timur kawasan Gunung Wilis, dengan ketinggian air terjun sekitar 105 meter.

Air terjun Sedudo sudah terkenal sejak jaman Majapahit yang mana air terjun ini diyakini sebagai Tirta Suci yang mengalir dari kahyangan.  Bahkan Para Raja, Bangsawan dan Pendeta pada jaman itu sering mempergunakan untuk upacara ritual, yaitu memandikan arca atau senjata pusaka dalam upacara Parna Prahista, yang kemudian sisa airnya dipercikan untuk keluarga agar mendapat berkah keselamatan dan awet muda.

Hingga sekarang pihak Pemkab Nganjuk secara rutin melaksanakan acara ritual Mandi Sedudo setiap tanggal 1 Suro bulan Sura (kalender Jawa).  Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit pada bulan itu dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun tersebut.

Legenda
Dulu kawasan Sedudo merupakan tempat pertapaan Ki Ageng Ngaliman, tokoh pelopor penyebaran agama Islam di Nganjuk waktu itu. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, maka setiap bulan Suro sebuah upacara ritual selalu digelar. Ritual yang diberin nama pengambilan Air Sedudo itu diisi dengan acara iring-iringan gadis berambut panjang yang berbusana adat Jawa, berjalan perlahan menuju kolam yang berada tepat di bawah air terjun. 
Mereka percaya, air yang mengalir tak henti-hentinya mengalir di Sedudo, bersumber dari tempat keramat, yakni tempat di mana para dewa bersemayam. Tak heran, ketika malam tahun baru Hijriyah 1 Muharram, atau biasa dikenal malam 1 Suro oleh masyarakat Jawa, ribuan pengunjung selalu memadati Sedudo. Di tengah dinginnya air terjun Sedudo, mereka mandi beramai-ramai di kolamnya.
Aspek sejarah lain, khususnya tentang pemanfaatan Sedudo oleh kalangan raja dan ulama di zaman Kerajaan Majapahit dan kejayaan Islam, sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat tentang khasiat air terjun tersebut. Di jaman Majapahit Sedudo sering digunakan untuk mencuci senjata pusaka milik raja dan patih dalam Prana Pratista. Sementara di zaman kerajaan Islam, Sedudo sangat dikenal sebagai kawasan pertapaan Ki Ageng Ngaliman.

Lokasi

Terletak di Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur.

Peta dan Koordinat GPS: 7° 46' 9.61" S  111° 45' 56.89" E 

 
Aksesbilitas

Berjarak sekitar 30 km arah selatan ibukota kabupaten Nganjuk dengan melewati daerah Kecamatan Berbek dan Sawahan.  Lokasi objek wisata ini sangat mudah dijangkau dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum (seperti bus) maupun kendaraan pribadi dengan kondisi jalan umumnya baik dan beraspal mulus. Hanya saja, karena lokasinya di gunung, jalan menuju air terjun Sedudo cenderung menanjak, naik-turun, dan berkelok-kelok. 


Setelah melewati gerbang utama dan membayar karcis akan ditemui jalan dua arah, ke atas menuju Air Terjun Sedudo, sedangkan ke bawah (belokan ke kiri) menuju Agrowisata Ganter dan Air Terjun Singokromo.  Dari gerbang ini perjalanan menanjak masih berlanjut sekitar dua kilometer.  Setelah melewati satu pos penjagaan lagi, barulah terdengar gemuruh Air Terjun Sedudo yang sudah di depan mata.   Untuk menuju ke pelataran air terjun harus berjalan menuruni tangga sekitar 5 menit.

Bagi yang menggunakan kendaraan umum dari terminal Nganjuk naik angkot jurusan Sawahan dengan ongkos sekitar Rp 12500 per orang (Pebruari 2015).  Sesampainya di Terminal Sawahan (akhir trayek amgkot) berganti moda angkutan dengan naik ojek.  Ongkos normal naik ojek sekitar Rp 40000 - Rp 50000 per orang untuk rute pulang pergi. 

Tiket dan Parkir
Harga tiket masuk  adalah Rp 2500/orang.  Tarif parkir kendaraan roda dua dipungut Rp 1.000, sedangkan kendaraan roda empat Rp 2.000.
Fasilitas dan Akomodasi
Fasilitas yang dimiliki di tempat wisata ini umumnya cukup baik dan lengkap seperti ruang ganti, kolam tempat berendam atau berenang, toilet, tempat istirahat dan berbagai rumah makan serta toko cinderamata.  Bagi yang membutuhkan penginapan juga tersedia hotel yang berada di sekitar kawasan ini. 


So....tunggu apalagi yuk merapat ke tempat wisata nan murah ini...

tunggu info selanjutnya yaaach...

15 komentar:

ada yang keren niiiih

16.46 Unknown 16 Comments

Nama Pulau Derawan di kalangan para orang yang suka jalan sih sudah umum  tetapi bagi kalangan lain masih banyak banget yang nggak tau atau bahkan belum pernah denger nama ini. Dua pertanyaan yang pasti di dengar setiap kali saya menyebut nama Kepulauan Derawan di depan mereka: “dimana Kepulauan Derawan?” “ada apa disana?”.
angan tanya letak geografisnya, karena saya juga nggak bisa jawabnya. Kepulauan Derawan ini berada di wilayah Kalimantan dan paling mudah dicapai melalui Kalimantan Timur, baik itu Balikpapan atau Tarakan (cara menuju ke Kepulauan Derawan yang lebih detail ada di bawah). Sementara kalau mau masuk dari Malaysia, tempat terdekat untuk menyebrang ke Kepuluan Derawan adalah Tawau. Ada apa disana? Yang paling menarik adalah berenang bersama ubur-ubur tanpa sengat!

HOW TO GET THERE

Ada dua jalur yang saya tahu untuk menuju ke Kepulauan Derawan:

Pulau Derawan via Berau

Berau ini juga biasa disebut Tanjung Redep dan nama bandaranya adalah Kalimarau. Nggak banyak penerbangan ke Berau, yang saya tahu dari Balikpapan dan dari Surabaya. Setelah mendarat perjalanan dilanjutkan naik kendaraan selama +/- 2 jam menuju Tanjung Batu kemudian menyebrang menggunakan speed boat sekitar 30 menit. Jalur ini paling nyaman sebenarnya cuma harus pinter-pinter ngatur jam-nya supaya bisa langsung tiba di Kepulauan Derawan, karena kalo nggak kita mesti nginap semalam di Tanjung Batu dulu. Sayangnya, rute ini tiket pesawatnya terhitung mahal. Ada juga yang pernah cerita kalau setibanya di Berau dia kemudian menggunakan speed boat langsung menuju Kepulauan Derawan dan makan waktu sekitar 3 jam, tapi saya belum pernah coba dan cuma baru dengar dari 1 orang saja.

Pulau Derawan via Tarakan

Rute ini paling umum digunakan para tamu yang berkunjung ke Pulau Derawan sekarang ini karena lebih hemat baik di waktu maupun budget. Saya, sebagai penduduk Jakarta akan lebih murah untuk membeli tiket ke Tarakan daripada ke Balikpapan/Surabaya trus ke Berau. Tiba di Tarakan langsung melakukan penyebrangan selama 3 jam menggunakan speed boat menuju Kepulauan Derawan. Nah, kalo informasi yang saya tahu nggak ada speed boat umum yang melayani penyebrangan ini jadi memang sebaiknya pergi bersama rombongan kemudian menyewa speed boat.

Hotel di Pulau Derawan

Penginapan di Pulau Derawan banyak banget pilihannya, mulai dari yang 1 juta-an sampe yang 400.000 serumah rame-rame  (biasanya disebut homestay). Nggak usah khawatir nggak dapet penginapan, paling sejelek-jeleknya buka tenda atau numpang tidur di rumah pemilik homestay.
Kalo saya sendiri setiap kali kesini selalu menginap di Losmen Danakan. Losmen Danakan ini termasuk losmen pertama yang berdiri di Pulau Derawan dan bentuknya memanjang sampai ke laut dengan tujuan kita bisa memandang lautan lepas untuk menikmati sunset/sunrise dan melihat penyu berseliweran dibawah, mau berenang juga tinggal nyemplung. Bangunannya dari kayu dengan kamar yang sederhana enaknya sekarang sudah ada beberapa kamar dengan kamar mandi di dalam dan pakai AC.


16 komentar:

04.22 Unknown 11 Comments






PANTAI KEMALA BALIK PAPAN

Kalau kamu pengen main air di pantai, Balikpapan punya pantai Kemala.
Lokasi tempat wisata berpasir putih ini masih di sekitar taman Monpera. Aktivitas yang biasa dilakukan di pantai Kemala adalah bermain banana boat dan flying fox. Letaknya di Jalan Jenderal Sudirman Balikpapan Selatan, pantai ini merupakan salah satu pantai favorit yang berada di dalam kota. Pantai Kemala Diresmikan oleh Ketua Yayasan Bhayangkari Polda Kaltim, yaitu Hayati Indarto pada tanggal 26 Agustus 2007.

Foto : Wego

11 komentar: