Pulau Diyonumo. Sumalata Timur, Gorontalo Utara.
a.
Fase
terbentuknya wilayah Sumalata
Sumalata pada awalnya hanyalah
nama dari sebuah tempat di wilayah utara Pohala’a Limutu (Limboto). Nama
Sumalata sendiri sebelumnya adalah Tumolata. Tapi dikarenakan lidah orang Belanda yang sulit mengeja kata “Tumolata”,
dan menyebutnya dengan “Sumalata”, sehingga dalam penulisnya menjadi “SOEMALATA”.
Sedang untuk kata “Tumolata”, sejauh
ini didapati dari beberapa sumber berasal dari:
1.
Tumo-tumolata yang diambil dari kalimat
‘huta u tumo-tumolata mola’ yang
berarti tanah yang dipenuhi oleh rawa-rawa, dan
2.
Tilumolata yang diambil dari kalimat
‘hulawa maa tilumolata’ yang berarti
emas yang sudah timbul atau muncul kepermukaan setelah melalui proses
pendulangan.
Tidak diketahui secara pasti kapan awal dimulainya
peradaban di wilayah Tumolata
(Sumalata). Sebuah sumber mengatakan bahwa dalam proses terjadinya Janjia U Dulowo (perdamaian antara
Pohala’a Hulontalo dan Pohala’a Limutu) pada tahun 1673 yang di pelopori oleh Hohuhu (Jogugu) Bumulo dan Khatibi Da’a Eyato
dari Hulontalo serta Hohuhu Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo dari Limutu, di
sebutkan bahwa ketika Putri Ntobango
dan Putri Tili’aya kembali ke Limutu
yang dikawal oleh armada laut Kerajaan Gowa dengan maksud untuk menguasai
Hulontalo melalui Limutu, sempat singgah di Sumalata.
Diceritakan bahwa ketika Armada Laut Kerajaan Gowa yang membawa 2 putri
tersebut sampai di Tolinggula, bertemulah mereka dengan para penjemput dari
Kerajaan Limutu. Diantaranya para penjemput tersebut ikut pula Hohuhu (Patih atau Perdana Mentri) Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo. Kemudian Rombongan ini singgah di sebuah
Pulau di Sumalata yang bernama Lito
Hutokalo. Di Pulau Hutokalo ini, Hohuhu
Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo
berusaha membujuk para Pemimimpin Kerajaan Gowa agar tidak menyerbu Kerajaan Hulontalo
(Sumber: Janjia U Duluwo;
www.hungguli.hulondhalo.com).
Sumber lain mengatakan bahwa Rombongan Putri
Ntobango dan Tili’aya terpaksa singgah di Lito Hutokalo ketika akan menuju
Limutu karena di tengah laut dihadang badai kencang (Barubu), dan akhirnya
sangat terpaksa rombongan tersebut harus merubah rute perjalanan mereka dengan
memutar langsung menuju pelabuhan Hulontalo.
dari kisah di atas, diperkirakan
bahwa pada tahun 1600-an wilayah Tumolata sudah dihuni oleh beberapa keluarga (ngala’a), mengingat wilayah Tumolata
pada waktu itu adalah sebuah tempat dari Pohala’a Limutu dengan keadaan
geografisnya sangat baik untuk bercocok tanam. Apalagi, diketahui pula bahwa
Tumolata menjadi tujuan bagi orang-orang, baik yang berasal dari Hulontalo dan
Limutu maupun wilayah kerajaan sekitarnya untuk mencari nafkah
sebagai
penambang emas. Karena pada waktu itu, Tumolata adalah salah satu wilayah penambangan
emas di Pohala'a Limutu. Sehingga, ketika orang-orang dari Sumalata yang datang
ke Limutu atau Hulontalo juga sering disebut “taa
lontho lemba lo Tumolata” (orang dari kampung Sumalata).
Pada awalnya, Tumalata hanya merupakan
lokasi perkebunan milik masyarakat setempat. Suatu saat, ketika mulai melakukan
penanaman jagung (milu) di sekitar lokasi Dusun Pasolo Desa Buladu (sekarang sudah dimekarkan menjadi Desa Hulawa-red),
mereka menemukan beberapa batu kecil berwarna kuning yang ternyata adalah emas
murni tersebar di lokasi kebun mereka, atau yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan sebutan "batu gara". Akhirnya tersebarlah berita di seluruh
wilayah Gorontalo tentang penemuan biji-biji emas di Tumolata, yang menyebabkan
banyaknya para pendatang dari Limutu dan wilayah untuk sekedar menjadi
penambang emas (Sumber : Reistogten in de
afdeeling Gorontalo, Gedaan op last der Nederlandsch Indische regering; hal
84-98; Carl Benjamin Hermann Rosenberg (Baron von); F. Muller, 1865).
Sebuah tulisan tentang Pembentukan
Gorontalo yang dikisahkan kembali oleh mantan Kepala Desa Wubudu yakni Akuba
Imran (Ti Boungo) yang pernah menjadi
Juru Tulis di tahun 1950 dari Kepala Kampung Deme II bernama T. A. Poneta (….. s/d 1958) mengatakan
bahwa, Hohuhu Popa sempat membentuk beberapa Tim yang bertugas melakukan survey
ke seluruh wilayah Limutu. Untuk mengetahui secara pasti wilayah Sumalata maka Hohuhu
Popa menugaskan Tim II yang beranggotakan 5 (lima) personil yang dikenal dengan
Palima,
Panggoba, Talenga, Wombuwa dan Pangulu.
Dalam melaksanakan tugas, Tim II
pertama-tama menemui wilayah Deme yang selanjutnya meneruskan perjalanan sampai
di Tolinggula yang sebelumnya disadur dari kata ‘Ilotunggula’ yang berarti sampai pada tempat yang dituju.
Dari seluruh wilayah yang telah disurvey, ternyata hampir keseluruhan digenangi
oleh air (rata-rata rawa) sehingga demikian dari 5 (lima) anggota tim sepakat
memberikan nama dari Deme sampai dengan Tolinggula adalah “Tumolata”, artinya rata-rata digenangi
air.
Dikisahkan pula dalam perjalanan
tersebut, ketika Tim II memasuki wilayah Tumolata, mereka berjalan kaki
menyusuri pinggiran pantai (deme-deme
mota), kemudian sampai di sebuah dataran yang memanjang (u bula-bulade mota),
kemudian berjalan melingkari wilayah perbukitan (lo libudu) dan menemui sebuah pantai yang dihalangi air pasang (Bubu-bubulo Taluhu Bonggi-liyo), dan
seterusnya sampai ke tempat tujuan (ilotunggula). Dari cerita tersebut pula menjadi dasar penamaan beberapa desa di Sumalata (Deme, Buladu, Wubudu, Bulontio dan Tolinggula.
Menurut penyampaian Bapak Akuba
Imran, Raja lo Limutu akhirnya mengangkat pemimpin di wilayah Tumolata yang
disebut pada masa itu dengan “Wala'o Pulu”.
Dan Wala’o Pulu yang pertama adalah Wala’o
Pulu Hepu, kemudian diganti oleh Wala’o
Pulu Toana dan selanjutnya terakhir Wala’o
Pulu Amara, sebelum akhirnya diganti oleh Hulopango Puti yang mempunyai gelar (gara'i) ‘Ta Lo
Kabulu’ sebagai Marsaole pertama di Sumalata pada tahun 1889 ketika sistem
pemerintahan di wilayah Gorontalo dirubah oleh Kolonial Belanda, yang dikenal
dengan sistem ‘Rechehereeks Bestuur’.
Kapan tahun diangkatnya Wala’o Pulu Hepu sebagai kepala wilayah di Tumolata
tidak diketahui secara pasti.
Sumalata disaat pemerintahan Wala’o Pulu masih merupakan satu wilayah
utuh dari Deme I sampai Tolinggula.
Nanti setelah tahun 1889, ketika Sumalata menjadi sebuah Onder Distirik yang
dikepalai oleh seorang Marsaole, barulah wilayah Sumalata dibagi menjadi 8
(delapan) desa ‘kambungu’ yakni Deme I,
Deme II, Buladu, Wubudu, Bulontio, Buloila, Biawu dan Tolinggula. Setelah masa penjajahan
Jepang masuk di Sumalata, maka Tolinggula dipecah menjadi dua yakni Tolinggula Ulu dan Tolinggula Pantai. Sedang Bulontio di awal tahun 1950-an dimekarkan
menjadi dua bagian, Bulontio Barat
dan Bulontio Timur.
Adapun Marsaole Hulopango Puti
menjabat tidak sampai 1 (satu) tahun, karena wafat ketika melaksanakan ibadah
haji ke tanah suci Mekkah dan diberi Gara’i
dengan sebutan ‘Ta Lo Kabulu’ (yang
dikabulkan doanya), hal ini karena niat dari beliau sendiri untuk wafat ketika menjalankan
ibadah haji dan dikuburkan di tanah suci Mekkah. Setelah Hulopango Puti wafat, ditahun itu juga Marsaole Sumalata diganti
dengan Bulonggodu Dangkua yang
kemudian diberi gelar adat (Pulanga) Ti Tobuto atau Ti Sobuto.
Sumber
lain menyebutkan, ketika Carl Benjamin Hermann Rosenberg yang berkunjung ke
Sumalata di Tahun 1863, menjelaskan bahwa wilayah Sumalata terdiri dari enam
Kampung yaitu : Tolinggoela (12 buah rumah dengan
penduduk 96 jiwa), Boelondyo
(14 buah rumah dengan penduduk 107 jiwa), Oebohdo
(24 buah rumah dengan penduduk 162 jiwa), Boelodo
(25 buah rumah dengan penduduk 175 jiwa), De'me
(17 buah rumah dengan penduduk 124 jiwa) dan Doeloekappa (9 buah rumah dengan penduduk 36 jiwa). Dalam
perjalanannya menuju Sumalata dari Kwandang, rombongannya sempat singgah di Lito Doyanoemo
(Pulau Diyonumo) karena dihadang oleh angin kencang. Sore harinya ketika angin
berhenti dan air laut mulai surut, merapatlah perahu yang ditumpangi oleh C.
B. H. Rosenberg di pantai dan disambut oleh Walapoeloe dan langsung diantar menuju desa Boelodo (Sumber : Reistogten
in de afdeeling Gorontalo, Gedaan op last der Nederlandsch Indische regering;
hal 84-98; Carl Benjamin Hermann Rosenberg (Baron von); F. Muller, 1865).
6 komentar: